Di balik kepastian hukum tersebut, nyala perjuangan keadilan justru kembali menyala. Melalui Tim Advokasi Untuk Keadilan (AUK) Juwita, keluarga korban menegaskan sikap: kasus ini belum selesai.
“Tidak adanya banding memang menutup babak persidangan untuk Jumran. Tapi bukan berarti lembar pencarian kebenaran sudah ditutup. Kami akan terus mengawal pelaksanaan hukuman, serta mendesak aparat untuk membongkar keterlibatan pihak lain yang diduga ikut serta dalam kejahatan ini,” tegas Praja, perwakilan AUK Juwita.
Praja juga mengingatkan agar tidak ada celah penyalahgunaan dalam pelaksanaan hukuman terhadap Jumran, termasuk jika nantinya muncul permohonan pemindahan lapas atau rutan.
“Ada kekhawatiran bahwa proses pemindahan justru membuka peluang penyimpangan—seperti pemberian fasilitas khusus, permintaan dari pihak tertentu, hingga potensi gratifikasi atau suap. Kami tegaskan: Jumran harus menjalani hukuman seadil-adilnya tanpa keistimewaan apapun,” ujarnya dengan tegas.
Kuasa hukum keluarga korban, Muhamad Pazri, juga menegaskan bahwa putusan pengadilan militer tidak boleh menjadi titik akhir dari pengungkapan kebenaran.Menurutnya, ada indikasi kuat keterlibatan orang sipil yang hingga kini belum tersentuh hukum.
“Jangan berhenti di satu orang. Ini bukan kejahatan yang bisa dilakukan sendirian. Kita minta aparat penegak hukum lanjutkan penyelidikan dan buka semua tabir keterlibatan pelaku lainnya,” tegasnya.
Dalam proses penyelidikan dan persidangan, masih banyak tanda tanya yang belum terjawab seperti hasil tes DNA terdakwa dinyatakan tidak cocok, namun tidak ada pengembangan lanjutan.
Pelacakan GPS mobil yang digunakan saat kejadian belum pernah diungkap secara utuh. Telepon genggam Jumran belum dianalisis melalui metode Scientific Crime Investigation (SCI), padahal itu penting untuk mengetahui dengan siapa saja ia berkomunikasi sebelum, saat, dan setelah kejadian.
Bahkan, rekaman CCTV di beberapa titik penting tidak dijadikan alat bukti oleh penyidik dalam persidangan.
“Semua itu membuat kami tidak bisa diam. Keadilan bagi Juwita bukan hanya soal menghukum satu pelaku, tapi mengungkap siapa yang ada di balik layar pembunuhan ini,” ujar Pazri.
Keluarga Juwita dan tim advokasi menyerukan agar semua pihak menghormati nyawa jurnalis yang telah gugur dalam menjalankan tugasnya. Kasus ini bukan hanya tentang satu orang korban, tapi juga tentang perlindungan terhadap kebebasan pers dan integritas hukum di Indonesia.
“Kalau kasus ini dibiarkan selesai di satu pelaku, maka nyawa jurnalis akan terus terancam. Kami menuntut keadilan yang tuntas, bukan keadilan yang setengah hati,” pungkas Pazri.