REDAKSI8.COM, BANJAR – Hubungan antara NU kultural dan NU struktural kerap kali digambarkan seperti dua kutub yang berjalan sendiri-sendiri.
Padahal, keduanya sejatinya saling melengkapi. Hal ini ditegaskan Ketua PBNU, KH Masdar Farid Mas’udi, dalam sebuah wawancara hangat bersama NU Online seusai rapat harian pengurus PBNU.
Dilangsir dari NU Online, menurut Kiai Masdar, NU lahir dari tradisi kultural Islam Nusantara yang telah mengakar ratusan tahun sebelum berdirinya organisasi pada 1926 oleh KH Hasyim Asy’ari.
Maka, NU struktural hadir sebagai alat perjuangan untuk memperkuat dan mengefektifkan gerakan keumatan yang telah lebih dulu ada secara kultural.
“Kalau pengurus NU struktural hanya sibuk dengan tahlilan dan pengajian, itu redundant. Fungsi-fungsi kultural itu sudah berjalan di tangan para kiai dan jamaah. Organisasi harus hadir untuk tugas-tugas sosial yang tak bisa ditangani individu,” tegasnya.
Masdar menyoroti pentingnya menjam’iyahkan warga NU kultural agar memiliki keterikatan formal terhadap organisasi. Bukti keanggotaan seperti Kartanu menjadi penting untuk memperjelas siapa anggota jam’iyyah secara struktural.
“Kita ibaratkan NU ini shalat berjamaah. Tujuannya ada, imamnya ada, tapi jamaahnya belum semua ikut formil. Kartanu itu penting. NU kultural saja tak cukup jika ingin membangun kekuatan organisasi,” jelasnya.
Salah satu solusi konkret yang diajukan adalah membentuk struktur NU hingga ke level paling bawah: Anak Ranting, yang berbasis di masjid atau musholla.
Masjid, sebagai rumah spiritual umat, dianggap sebagai lokasi paling strategis untuk membina dan membentuk kaderisasi, pelayanan sosial, hingga penguatan ideologi jam’iyyah.
“Di masjid umat berkumpul. Maka basis organisasi NU harus menyentuh masjid. Di situlah akar NU akan benar-benar menyerap ‘nutrisi’ dari umat,” katanya penuh semangat.
Contohnya nyata terjadi di Banyumas, di mana satu kecamatan mampu membentuk 105 anak ranting karena memiliki lebih dari 100 masjid aktif.
Masdar juga mengingatkan agar kader muda NU, termasuk PMII dan Ansor, kembali ke masjid sebagai basis gerakan. “Demo boleh, kajian boleh, tapi jangan tinggalkan masjid. Mulai gerak dari masjid, kembali ke masjid. Itu rumah kita, itu sumber berkah,” pesannya.
NU struktural, kata Masdar, tidak boleh terjebak dalam mentalitas menunggu disowani. Paradigma pengurus harus diubah: dari dilayani menjadi melayani. Ia menekankan pentingnya kerja konkret dan sistematis, bukan sekadar jargon atau klaim jumlah massa.
“Jangan hanya jualan hamparan kultural. Tanpa kerja keras, semua akan rapuh. Organisasi kuat harus punya basis, sistem, dan etos jihad—kerja keras penuh kesungguhan.”
Di akhir wawancara, Masdar menyentil ketidakjelasan visi NU sebagai organisasi. Ia menilai, tanpa arah yang konkret dan perencanaan jangka panjang, NU akan berjalan stagnan.
“Kita perlu cetak biru NU 20 tahun ke depan. NU harus punya peran besar dalam menciptakan peradaban, bukan sekadar eksis sebagai warisan kultural,” pungkasnya.

