REDAKSI8.COM, SAMARINDA – Di tengah euforia pembangunan Kalimantan Timur sebagai calon ibu kota negara, sebuah realitas yang jauh dari gemerlap megaproyek masih menghantui warga di wilayah pedalaman seperti Mahakam Ulu, Kutai Barat, dan daerah terpencil lainnya.

Layanan kesehatan dasar yang semestinya menjadi hak semua warga negara, justru terasa seperti kemewahan yang sulit dijangkau.
Namun harapan baru muncul dengan diluncurkannya Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) oleh pemerintah pusat. Program ini digadang-gadang sebagai solusi sementara untuk menjangkau masyarakat di titik-titik paling terpencil Kalimantan Timur.
Bagi dr. Andi Satya Adi Saputra, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim sekaligus seorang praktisi medis, program ini bukan hanya langkah darurat, tapi momentum strategis untuk membangun fondasi layanan kesehatan yang lebih adil dan merata.
“Program ini menjadi kesempatan kita untuk meningkatkan infrastruktur kesehatan yang masih tertinggal,” ujar Andi Satya saat ditemui di Samarinda.
Menurut Andi, kesenjangan layanan kesehatan antara kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan dengan daerah-daerah pedalaman masih sangat mencolok.
Ia mengisahkan bagaimana sebagian warga di Mahakam Ulu bahkan belum pernah melihat dokter secara langsung.
“Harapannya, masyarakat di daerah terpencil bisa mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan yang sama baiknya dengan yang ada di Samarinda dan Balikpapan,” tambahnya.
Namun, program pemeriksaan gratis bukanlah jawaban final. Kaltim masih kekurangan sekitar 2.000 dokter, dan distribusi tenaga medis masih jauh dari merata.
Kota-kota besar menjadi pusat penumpukan dokter, sementara desa dan kampung hanya mengandalkan kunjungan berkala dari petugas kesehatan.
“Ini menjadi tantangan besar. Bagaimana caranya kita memenuhi kekurangan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, terutama di daerah yang sulit dijangkau,” tutur Andi dengan nada serius.
Butuh Solusi Jangka Panjang: Beasiswa & Sistem Zonasi
Dua fakultas kedokteran di Kaltim—Universitas Mulawarman dan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur—menjadi tumpuan. Namun menurut Andi, mengandalkan mereka saja tidak cukup cepat untuk mengejar kebutuhan.
“Kalau hanya mengandalkan dua fakultas itu, kita butuh waktu 10 tahun untuk memenuhi kebutuhan 2000 dokter,” katanya blak-blakan.
Sebagai solusi konkret, ia mendorong kebijakan beasiswa kedokteran bagi putra-putri daerah serta penerapan sistem zonasi penempatan dokter.
Strategi ini dinilai efektif dalam menciptakan keberlanjutan dan komitmen jangka panjang.
“Kalau anak-anak dari pelosok diberi beasiswa, mereka lebih besar kemungkinan untuk kembali dan mengabdi di kampung halamannya,” tutupnya penuh harap.
Di tengah pembangunan fisik yang terus menggerus lanskap Kalimantan, dr. Andi Satya mengingatkan bahwa pembangunan manusia tak boleh tertinggal.
Ia percaya, layanan kesehatan yang merata dan bermartabat adalah syarat utama agar Kalimantan Timur benar-benar siap menjadi pusat pemerintahan dan peradaban baru.
Kini, yang ditunggu adalah komitmen nyata pemerintah, agar kesehatan tidak hanya menjadi bagian dari retorika, tetapi benar-benar menyentuh kehidupan mereka yang selama ini berada di pinggiran.