REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Selain Forum Ambin Demokrasi, Eks Wakil Ketua Komnas HAM RI, Hairansyah, turut memberikan komentar atas Keputusan KPU Nomor 1774 Tahun 2024 yang rilis menjelang H-4 pencoblosan di Pilkada Banjarbaru.

Hairansyah menilai, pedoman teknis pelaksanaan Pilkada tersebut sudah melukai hak kebebasan masyarakat Banjarbaru memilih calon pemimpinnya.
Bahkan, dengan ketus dia berpendapat, hak fundamental masyarakat Banjarbaru tampak telah dikebiri
“Hak fundamental masyarakat Banjarbaru sudah dikebiri,” ungkapnya melalui sambungan telepon, Minggu (24/11) malam.
Berdasarkan keputusan yang dikeluarkan KPU RI pada tanggal 23 November 2024 kemarin, dia menafsirkan, masyarakat yang tidak ingin memilih pasangan yang ada tidak akan bisa berbuat apa-apa, sebab tidak ada pilihan.
“Suara mereka dianggap tidak sah, kalau seperti ini aturannya, lalu apa yang dinamakan Demokrasi?,” tanya dia.
Dalam Undang-Undang kata Hairansyah, telah tertulis pada pelaksanaan Pilkada, KPU sebagai pelaksana pemilu wajib mengakomodir hak masyarakat, meski hanya satu pasangan calon.
“Karena itulah MK mengeluarkan putusan ada kotak kosong, itu (putusan<-red) dikeluarkan untuk menampung aspirasi masyarakat yang tidak mendukung paslon yang ada,” paparnya.
Hasilnya (Pilkada<-red) nanti dia berpendapat, sangat rentan dengan gugatan hukum, lantaran dinilai cacat prosedural dari penetapan Undang-undang.
Pasca SK pembatalan untuk pencalonan pasangan Aditya Mufti Ariffin – Said Abdullah Al-Kaff sebagai Paslon di Pilwali Banjarbaru ucap dia, ada tiga poin penting yang belum dijalankan oleh KPU Banjarbaru.
Pertama, menetapkan hanya ada satu Paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang berhadapan dengan kotak kosong.
Kedua, mencabut sekaligus memperbaharui SK terkait penetapan nomor urut paslon.
“Itu belum dijalankan (mencabut SK<-red) KPU,” cetusnya.
Ketiga, KPU wajib mencetak surat suara pengganti sesuai dengan kondisi yang ada.
“Ketiga poin ini adalah kewajiban KPU yang diatur dalam Undang-undang Pilkada Pasal 54,” ungkapnya.
Baginya, kondisi tersebut berbeda dengan Pilkada di wilayah Balangan dan Tanah Bumbu, dimana sejak awal paslon disana sudah melawan kotak kosong
Sehingga, perlu ada tahapan dan ketentuan yang sebelumnya dijalankan KPU Banjarbaru harus diubah sesuai dengan kondisi paslon yang ada.
“Jadi untuk di Banjarbaru, yang harus ditanyakan adalah bagaimana sikap KPU mengenai ketiga poin itu. Apakah sudah mereka laksanakan kewajibannya sesuai ketentuan perundang undangan atau belum?,” lanjutnya.
Jika belum, maka pikir Hairansyah, seluruh tahapan pilkada pasca pembatalan paslon di akhir Oktober lalu tidak sah, sebab tidak berlandaskan dengan hukum.
“Karena dalam UU tentang Pilkada pasal 54 sudah jelas mewajibkan KPU untuk melaksanakan langkah-langkah pasca adanya pembatalan paslon,” bebernya.
Dari situ dia mengatensi, KPU mesti mengganti tahapan dan ketentuan yang tengah berjalan sesuai kondisi paslon yang ada.
Jika KPU tetap kekeh memakai surat suara yang ada dengan alasan terbatasnya waktu pencetakan ulang, hasil pencoblosan untuk Pilwali Banjarbaru dia menukas, jelas tidak sah secara hukum.
Dampaknya dapat jadi pemicu munculnya gugatan ke MK.
“Pengujian dapat dilakukan melalui MK sebagai pengawal demokrasi. Alasan pengujian ke MK bisa dengan substansi Pilkada telah dilanggar,” pungkasnya.
Sebelumnya, pegiat Forum Ambin Demokrasi, Noorhalis Majid menilai, Ketua KPU RI melalui putusannya Nomor 1774 telah mengamputasi hak pilih warga.
Bahkan, pihaknya menyesalkan sikap KPU RI yang tidak mempedomani Undanga-Undang dan PKPU Pilkada dengan hanya satu calon.
Kendati demikian, pihaknya menyatakan, dalam situasi seperti ini warga dapat menggugat proses Pilkada dan hasilnya.
Yang dimana gugatan itu merupakan hak untuk menguji keputusan KPU RI yang bertentangan dengan UU.
“Maka Pilkada Kota Banjarbaru cacat prosedural, cacat hukum dan tidak sah, menjadi demokrasi yang hampa, sehingga seluruh proses dan hasilnya kehilangan makna dan bisa dibatalkan,” tandasnya.