Kesulitan Bahan Baku Karena Banyak Pohon Ditebang
Sejak puluhan tahun silam, dua desa di Kecamatan Astambul yakni Desa Pingaran Ulu dan Pingaran Ilir tersohor sebagai sentra pembuat panganan berbahan jengkol, atau dalam bahasa setempat disebut jaring. Itu karena, mengolah jaring menjadi pekerjaan yang dilakoni temurun oleh mayoritas warga di sana.

Kedua tangannya tak henti memeras parutan kelapa yang ditempatkan dalam sebuah bak berukuran besar. Sembari memeras parutan kepala untuk mengambil santannya, H M Syahrawi sesekali memperhatikan kobaran api dalam tungku.

Melihat nyala api mulai redup, pria parobaya ini beranjak. Aktifitas memeras santan ia tinggalkan sejenak dan beralih ke tungku yang di atasnya sudah memanaskan sebuah wajan berukuran jumbo, juga berisi santan hasil perasan sebelumnya.
Beberapa kayu lantas ia tambahkan ke dalam tungku terbuat dari drum bekas wadah oli yang dipotong dua. Tak lama setelah kayu dimasukkan, dan kepulan asap menyeruak dari dalam tungku, api kembali menyala besar.
Berhasil menormalkan kobaran dalam tungku, warga Desa Pingaran Ilir, Kecamatan Astambul ini lantas memegang pengaduk -terbuat dari kayu berbentuk pipih serupa dayung sampan- yang sejak tadi ia letakkan di dalam wajan. Perlahan, santan putih yang mulai berubah warna kecoklatan diaduk perlahan.
Perubahan warna santan, dari putih menjadi kecoklatan tanda lalaan jelang matang. Beberapa menit berjibaku di depan tungku, menormalkan nyala api dan mengaduk santan, Syahrawi kembali ke aktifitasnya semua. Memeras parutan kelapa untuk mendapatkan santan yang akan ia olah menjadi lalaan di sebuah wajan lainnya.
“Sama dengan merebus jaringnya, perlu sekitar 3-4 jam untuk mengolah lalaan. Itu jika dengan api normal, kalau api kecil, perlu lebih dari itu,” kata H M Syahrawi sembari terus mengaduk santan saat ditemui di rumahnya belum lama tadi.
Melala, begitu H Syahrawi, menyebut aktifitas mengolah santan yang semula encer hingga mengental dengan warna kecoklatan ini. Hasil olahan santan itu kemudian yang dinamakan lalaan. Serupa saus dalam sebuah menu makanan, lalaan menjadi pelengkap menyantap jengkol, atau dalam bahasa setempat jaring yang diolah hanya dengan cara direbus. Penganan tradisional khas Desa Pingaran Ulu dan Ilir.
Dalam sehari, tak kurang dari 20 liter lalaan, atau setara dengan 14 kilogram lalaan diolah Syahrawi dari sekitar 150 butir kelapa. Rampung melala yang lazimnya purna setelah waktu salat ashar, berganti jaring yang ia rebus dalam panic berukuran jumbo.
Menurutnya, perlu waktu yang kurang lebih sama dengan mengolah lalaan untuk merebus buah berbau khas ini.
“Kurang lebih sama dengan melala. 3-4 jam dengan api normal. Namun merebus jaring lebih mudah ketimbang melala yang harus diaduk berulang kali agar lalaan matang merata dan tak mengeras,” katanya.
Dalam sehari, tak kurang dari dua kaleng, warga menyebutnya blek, atau setara dengan 28 kilogram jaring yang diolah Syahrawi. Namun sebelum jaring siap di rebus, jaring terlebih dulu harus direndam selama 24 jam. Perendaman dilakukan untuk mengikis kandungan racun yang terdapat dalam daging buah jaring.
“Jaring biasanya dibeli para pedagang untuk dijual lagi di sejumlah pasar dengan harga Rp5.000 untuk sepuluh biji jaring lengkap dengan lalaannya. Tak hanya di Martapura, tapi juga pasar di Banjarmasin dan beberapa daerah lain. Sebagian dibeli dan di jual pinggir jalan raya seperti yang beberapa waktu ini banyak terlihat,” kata Syahrawi menyampaikan jaringan pemasaran jaring dan lalaan olahannya.
25 tahun sudah Syahrawi melakoni pekerjaan sebagai pembuat jaring rebus dan lalaan. Tak hanya Syahrawi, sebagian besar warga di dua desa di Kecamatan Astambul ini; Desa Pingaran Ilir dan Ulu berprofesi yang sama.
Eksistensi temurun sejak puluhan tahun silam inilah yang kemudian membuat Desa Pingaran Ulu dan Ilir terkenal sebagai sentra pembuat jaring rebus dan lalaan. Tak hanya di Kabupaten Banjar, tapi juga di Kalsel. Saking terkenalnya, ada juga yang menyebut Desa Pingaran Ulu dan Ilir sebagai daerah ‘penjaringan’.
“Dahulu, sekitar sebelum tahun 2000-an, jaring produksi warga Pingaran bahkan sampai dipasarkan hingga Palangkaraya di Kalteng dan Pontianak di Kalbar. Tapi saat ini sudah tidak. Ada beberapa orang Pingaran yang tinggal menetap lama, dan membuat olahan jaring di sana,” Pungkasnya.
Bertahan di Tengah Kian Sulit dan Mahalnya Bahan Baku
Langgengnya usaha pengolahan jaring dan lalaan yang dilakoni HM Syahrawi dan mayoritas warga dua desa di Kecamatan Astambul; Desa Pingaran Ulu dan Pingaran Ilir yang termurun sejak puluhan tahun silam bukan berarti tanpa terpaan gelombang. Terutama ketersediaan bahan baku utama; jaring dan kelapa.
Tak lekang dari ingatan Syahrawi 25 tahun silam kala pertama ia memulai usaha pengolahan jaring dan lalaan sebagai industri rumahan di RT 4, Desa Pingaran Ilir. Kala itu, jaring masih melimpah. Jaring di pasok dari sejumlah desa di sekitar tempat tinggalnya. Desa Biih di Kecamatan Karang Intan menjadi pemasok utama jaring kala itu. “Harganya kala kala itu masih Rp25 ribu per kaleng yang berisi 20 liter, atau setara 14 Kilogram,” katanya.
Namun seiring waktu, pasokan jaring dari Desa Biih dan beberapa desa lain di Kecamatan Karang Intan terus berkurang. Untuk tetap dapat melanjutkan usaha pengolahan jaringnya, jaring terpaksa dipasok dari daerah lain yang lebih jauh. Di antaranya beberapa desa di Kecamatan Aranio, Pasar Panas di Kecamata Sungai Pinang, dan dari Lokasado di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ada juga jaring yang didatangkan pemasok dari daerah Kalimantan Barat
“Sampai dengan tahun 2000-an sebagian besar jaring masih dipasok dari sejumlah desa di wilayah Kabupaten Banjar. tapi setelahnya, jaring juga didatangkan dari luar Kabupaten Banjar. termasuk dari Kotabaru,” kata H Syahrawi.
Banyaknya pohon jaring yang ditebang untuk dibuat papan, lebih banyak lagi yang ditebang pemilik lahan diganti dengan pohon karet, menurut pria parobaya ini, menjadi faktor utama jaring kian langka di desanya, juga desa-desa yang semula menjadi pemasok utama jaring. Alhasil, jaring harus ddatangkan dari daerah yang lebih jauh.
Jauhnya jarak tempuh taktis membuat ongkos kirim para pemasok jaring meningkat. Ujung-ujungnya harga jaring yang dibeli para pengolah jaring, termasuk Syahrawi melambung. Dari yang awalnya hanya Rp25.000 per kaleng, kini hingga Rp170 ribu – Rp200 ribu per kaleng.
Untuk membeli jaring sebanyak dua kaleng saja, saat ini Syahrawi harus merogoh modal rata-rata sebesar Rp400 ribu per hari. “Tergantung ukuran, juga tua atau tidaknya jaring. Yang besar dengan masa panen buah lima bulan di pohon harganya kini Rp200 ribu. Yang kecil Rp170 ribu,” ujar Syahrawi sembari menunjukkan buah jaring kategori ukuran buah besar.
Sama halnya dengan jaring yang kian sulit didapat, pun dengan harga yang kini selangit, kelapa yang menjadi bahan utama membuat lalaan juga kian mahal. Padahal dalam sehari, Syahrawi mengaku rata-rata per hari memerlukan sebanyak 150 butir kelapa untuk menghasilkan 20 liter lalaan atau setara dengan 14 Kilogram.
Dengan harga per butir kelapa saat ini Rp2.500, dalam sehari Syahrawi tentu perlu menyiapkan modal tambahan sebesar Rp375.000. Untungnya, kayu yang juga komponen utama dalam proses pengolahan jaring dan lalaan,Syahrawi tak perlu beli. “Kayu saya cari sendiri. Kalau kayu harus beli tentu modal yang diperlukan semakin banyak,” katanya.
Ongkos kirim kelapa yang saat ini mayoritas dipasok dari daerah hulu Barito di Kalteng, menurutnya, membuat harga kelapa tak kalah selangitnya dengan harga jaring. Di banding dulu yang hanya sebutirnya Rp1.000-1.500.
Di tengah kian sulitnya mendapatkan bahan baku; jaring dan kelapa, Syahrawi menyuarakan, mestinya ada campur tangan aparat pemerintah, baik dari tingkat desa hingga kabupaten untuk keberlangsungan usaha rumahan pengolahan jaring dan lalaan di Desa Pingaran Ilir dan Ulu. Karena selama ini, pelaku industri rumahan ini berjalan sendiri tanpa papahan tangan pemerintah.
“Mestinya ada koperasi yang khusus mengadakan bahan baku pengolahan jaring dan lalaan. Apalagi saat ini harga jaring dan kelapa kian mahal. Tapi kami tak punya pilihan selain berharap di pemasok yang teradang mengambil untung dari ongkos kirim yang tak jarang lebih mahal ketimbang harga beli jaring dan kelapa dari tangan petaninya,” kata Syahrawi menyemat harap.
Melihat fakta itu, industri rumahan pengolahan jaring dan lalaan bukan tidak mungkin suatu masa akan hilang seiring bahan baku yang kian sulit didapat.
Meski begitu, Dondit Bekti, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Banjar tetap optimis industri pengolahan panganan jaring dan lalaan akan tetap langgeng. Kendati benar tak sedikit pohon jaring yang telah tumbang, semangat menanam kembali pohon jaring warga tetap ada.
Disinggung pengambangan dan penanaman pohon jaring skala besar di bawah pengawasan Dinas Perkebunan dan Peternakan, Dondit Bekti menyampaikan tak mungkin dapat dilakukan. Itu karena jaring bukan komoditi unggulan untuk dikembangkan.
Kendati faktanya diakui Dondit, harga jua jaring saat ini mencapai Rp200 ribu per kaleng, setara dengan 20 liter atau 14 kilogram. “Bukan komodisiti unggulan. Jadi tidak mungkin dikembangkand negan pola perkebunan. Namun jaring bagi masyarakat lokal sudah sangat lekat. Jadi dengan sendirinya, jaring tetap akan ditanam warga,” ujar Dondit optimis.**