Kuliner yang bernama Untuk, saat ini keberadaannya sudah jarang ditemui, terutama Untuk yang kualitasnya benar – benar prima seperti layaknya Wadai Untuk seperti dulu, yang jadi makanan pendamping minum teh atau kopi urang Banjar.
“Kalau wadai Untuk sekarang, sudah rasanya berkurang tidak seperti dulu, teksturnya juga keras, layat, kawa di hamputakan (dilempar -red), jauh rasanya, mungkin mau cepat jadi adonannya tidak jadi,” terang Johansyah warga Banjarbaru yang kebetulan berkunjung ke Kandangan.
Ketika wartawan datang ke rumah Maimunah (70) pembuat wadai Untuk di Desa Ulin Panggupau Kecamatan Simpur, sekitar 7 kilo meter dari Kota Kandangan, terlihat berbagai peralatan sederhana masih berserakan.
Menurut Maimunah, Untuk yang ia buat dengan sistem panggang, memanggang nya dengan jenis oven, cuma alatnya dibuat sendiri dengan bermodalkan seng dan kulikar.
“Sabut yang di bakar di andak di bawah dan di atas seng nang sudah di siapakan,” ungkapnya
Pengolahan Untuk sendiri, bahan yg di gunakan gula, tepung, obat parmipan, sari manis dan vanili pudar, di kamir setelah bahan semua di campur baru di bentuk sedemikian rupa sesuai selera masing-masing.
Adonan Untuk seberat 4 kilogram bias menghasilkan 100 biji Untuk yang siap panggang, kalau dihitung rata rata ungkap Maimunah, menghabiskan 10 biji sabut, total modal dengan adonan dan bahan bakar, diperlukan dana Rp. 45 ribu. “Dijual per 100 biji dengan harga 70 ribu rupiah. Ada haja pang untung nya sekitar 25 ribu rupiah” cetusnya
Ia menjual wadai Untuk olahannya di pasar subuh di daerah Desa Ulin juga yang bias di sebut Pasar Muara Ulin, “Bahanu teh menantu nang mambawaakan ka Pasar Kandangan,” ujarnya.
Saat ini wadai untuk hampir punah karena banyak pembuat nya terkendala modal, walaupun dengan modal yang minim tetapi pekerjaan yang di lakoni cuma itu saja untuk menambah penghasilan perekonomian keluarga.