Tim Jurnalis Investigasi Sulut mendapati salah satu mobil tangki milik PT SKL/SKS tengah melaju di jalan pusat Kota Bitung menuju kawasan Perikani. Lebih mencurigakan lagi, kendaraan tersebut tampak dikawal oleh beberapa pria yang diduga oknum aparat, menggunakan mobil Mitsubishi Xpander berwarna hitam. Aktivitas mereka mengarah pada dugaan kuat: pengisian BBM jenis Solar Bersubsidi secara ilegal.
“Kendaraan ini diduga kuat adalah barang bukti yang hilang dari Polda Sulut. Bagaimana bisa kendaraan yang seharusnya disita, kini bebas berkeliaran dan menjalankan operasi?” ujar salah satu jurnalis investigasi.
Kemarahan pun datang dari berbagai pihak. Ketua LSM Peduli Masyarakat, Bawon Riady, menyebut kejadian ini sebagai tamparan keras bagi penegakan hukum di Sulut.
“Ini permainan kotor mafia solar bersubsidi. Sangat disayangkan jika barang bukti bisa ‘melayang’ begitu saja dari pengawasan Polda. Ini bukan sekadar kelalaian, ini dugaan konspirasi!” tegas Bawon saat diwawancara awak media.
Menurut Bawon, pemilik PT SKL/SKS disebut-sebut merupakan seorang haji yang turut diduga terlibat langsung dalam skandal ini. Ia pun mendesak Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Harry Langie untuk segera melakukan evaluasi besar-besaran terhadap jajaran penyidik yang menangani kasus ini.
“Jika terbukti ada anggota yang bermain, harus ditindak tegas! Ini bukan cuma mencoreng institusi, tapi merugikan negara dan rakyat kecil yang seharusnya menerima subsidi,” lanjutnya.
Skandal ini bukan hal sepele. Para pelaku penyelewengan BBM bersubsidi terancam sanksi berat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 55 menyebutkan hukuman pidana paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp60 miliar. Belum lagi sanksi tambahan yang diatur dalam Pasal 51 sampai 58 UU Migas yang mengkategorikan tindak pidana ini sebagai kejahatan serius.
Kini, publik menanti jawaban tegas dari Polda Sulut. Apakah hukum akan benar-benar ditegakkan, atau justru kasus ini kembali menguap seperti solar bersubsidi yang seharusnya untuk rakyat, tapi justru dinikmati oleh segelintir “bandit berbaju rapi”.