REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Tim Advokasi Keadilan Untuk Juwita (Tim AUK) bersama keluarga korban secara resmi menyampaikan surat keberatan atas tuntutan pidana penjara seumur hidup yang diajukan oleh Oditurat Militer kepada terdakwa Jumran dalam kasus pembunuhan berencana terhadap jurnalis Juwita di Banjarbaru.

Surat keberatan tersebut ditunjukan langsung kepada Kepala Pengadilan Militer (PM) I-06 Banjarmasin, Letnan Kolonel Chk Arie Fitriansyah dan majelis hakim pemeriksa sidang perkara Nomor 11-K/PM.I-06/AL/IV/2025.
Keluarga korban diwakili Supraja Ardinata dan Susi Anggraini bersama kuasa hukumnya yaitu Dr. Muhamad Pazri.

Tim AUK menilai tuntutan penjara seumur hidup tidak sepadan dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan oleh Jumran.
Sebab, terdakwa melakukan pembunuhan dengan berencana, yang berdasarkan fakta membunuh dengan cara biadab dan tidak manusiawi.
Selain itu, sebelum membunuh Jumran juga melakukan dugaan pemerkosaan dengan bujuk rayu. Yang seharusnya sebagai aparat penegak hukum dapat melindungi, mengayomi dan menegakkan peraturan perundang-undangan.
“Terdakwa melakukan upaya menghilangkan barang bukti dan alat bukti pembunuhan berencana, serta tidak kooperatif dalam proses penyidikan dan banyak yang ditutup-tutupi pada pemeriksaan keterangannya,” ucapnya.
“Terdakwa mengaku tidak puas kepada pihak keluarga atas perbuatan menghilangkan nyawa korban,” tambahnya.
Disamping aspek hukum, alasan keberatan secara psikologis juga adalah perlunya mempertimbangkan dampak yang dialami oleh keluarga korban maupun masyarakat luar.
Karena orang tua korban sangat terpukul, serta mengalami trauma berat atas kehilangan sosok korban yang dikenal supel dan ramah terhadap teman-teman, kolega, ataupun orang-orang terdekat lainnya.
Bahkan, perilaku terdakwa merusak citra dan nama baik dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta membuat kepercayaan keluarga korban dan masyarakat menjadi luntur.
“Terbukti melakukan pembunuhan berencana warga sipil seorang wanita dan juga jurnalis dengan sadis melanggar nilai kemanusiaan dan nilai kesatriaan tidak dituntut atau divonis hukuman mati, akan semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di tubuh TNI itu sendiri,” tegasnya.
Demikian, terdakwa Jumran layak untuk dijatuhi hukuman mati berdasarkan kerugian dampak sosial dan psikologis yang terjadi, bukti-bukti hingga fakta di persidangan perkara a quo.
Keluarga korban dan Tim Advokasi berharap, majelis hakim perkara a quo berkenan mempertimbangkan alasan-alasan keberatan atas tuntutan yang diajukan oleh Oditur Militer untuk dapat mengesampingkan tuntutan tersebut.
“Demi keadilan kami meminta maksimal vonis hukuman mati yang setimpal dengan perbuatan terdakwa, sebab dengan lancangnya menghilangkan nyawa korban untuk kepentingan pribadi,” tuntasnya.