Laporan dengan nomor STTLP/120/VIII/2025 dan STTLP/121/VIII/2025 itu bukan laporan biasa. Dedi menuding dua pimpinan organisasi advokat nasional tersebut menggunakan ijazah dan gelar palsu, sesuatu yang dianggapnya tidak hanya melanggar etika profesi, tetapi juga berpotensi menyeret ke ranah pidana.
“Sebagai dosen dan pimpinan organisasi advokat, seharusnya mereka punya latar belakang pendidikan hukum yang jelas dan sah. Kalau ijazahnya bermasalah, ini merugikan banyak pihak dan mencederai profesi hukum,” ujar Dedi usai menyerahkan laporan resmi.
Dedi mendasarkan laporannya pada Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dengan tegas menyebutkan:
“Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.”
Artinya, jika dugaan ini terbukti, ancaman hukuman cukup berat menanti dua pimpinan P3HI tersebut.
Kisah ini bermula pada 8 Juli 2025, ketika Dedi menemukan dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Aspihani. Ia lalu melakukan klarifikasi kepada berbagai pihak, termasuk organisasi advokat lain dan sejumlah media.
Hanya berselang sehari, 9 Juli 2025, dugaan serupa juga muncul terhadap Wijono. Dari hasil penelusuran, nama Wijono disebut tidak ditemukan dalam daftar resmi mahasiswa maupun lulusan tahun ajaran 2022/2023 di perguruan tinggi yang ia klaim.
Tidak berhenti di situ, 15 Juli 2025, Dedi bersama Sekretaris DPP ARUN Kalsel, M. Hafidz Halim, S.H., menggelar klarifikasi terbuka yang menyoroti penggunaan gelar akademik keduanya. Dari situlah benang merah dugaan ijazah palsu semakin kuat.
Kuasa hukum Dedi, M. Hafidz Halim, menyebut laporan ini adalah bentuk tanggung jawab moral untuk membersihkan dunia advokat dari kepemimpinan yang tidak sahih.
“Ini bukan sekadar soal gelar akademik. Ada rekam jejak ketika mereka memberikan keterangan palsu di bawah sumpah di PN Kotabaru. Itu sudah mencederai integritas profesi hukum. Bahkan Komisi III DPR RI sudah mencium isu ini,” tegasnya.
Menurut Hafidz, langkah hukum ini diambil untuk memastikan agar organisasi advokat benar-benar dipimpin oleh orang yang memenuhi syarat akademik dan profesional, bukan sekadar bersembunyi di balik gelar yang meragukan.
Dedi, yang akrab disapa Bang Naga, mengaku sudah menyiapkan bukti-bukti lengkap. Mulai dari hasil klarifikasi kampus, dokumen pendukung, hingga saksi yang siap dihadirkan di hadapan penyidik.
“Semua sudah kami siapkan. Kami tidak mau kasus ini berhenti di meja laporan saja. Harus ada proses hukum yang transparan,” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak terlapor, Aspihani Ideris dan Wijono, belum memberikan tanggapan resmi. Padahal, isu ini kian ramai dibicarakan di kalangan praktisi hukum, akademisi, hingga masyarakat luas yang menyoroti masalah ijazah palsu di Indonesia.
Kasus dugaan ijazah palsu bukanlah isu baru di negeri ini. Bahkan, sejumlah pejabat, dosen, hingga pejabat publik pernah tersandung perkara serupa. Persoalannya bukan hanya soal legalitas gelar, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan pendidikan.
Jika benar terjadi di tubuh organisasi advokat, dampaknya bisa lebih fatal. Advokat yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum, justru berpotensi melanggar hukum dengan memalsukan identitas akademik.
Kini, bola panas sudah berada di tangan Polda Kalsel. Publik menunggu sejauh mana aparat kepolisian berani menuntaskan kasus ini dan memastikan kebenaran di balik ijazah serta gelar yang dipersoalkan.