Menurut Rofiqi, tren ini tak bisa dianggap sepele. Ia melihatnya sebagai bentuk ekspresi sosial dari kekecewaan publik terhadap kondisi bangsa, terutama dalam hal pemerataan kesejahteraan yang masih jauh dari harapan.
“Saya rasa ini bukan cuma ikut-ikutan. Ini pesan diam dari anak-anak muda yang kecewa, mungkin terhadap pemerintahan sebelumnya, terutama soal kesejahteraan rakyat,” ujar politisi Partai Gerindra itu, Senin (4/8/2025), usai mengisi Sosialisasi Pembinaan Ideologi Pancasila di Grand Qin, Banjarbaru.
Rofiqi menyayangkan momentum kemerdekaan yang seharusnya dipenuhi semangat nasionalisme dan penghormatan terhadap sejarah perjuangan, justru diramaikan simbol fiksi dari budaya luar.
“Agustus mestinya jadi bulan menyala-nyalanya semangat kebangsaan. Tapi kalau malah diisi simbol bajak laut, ini sinyal bahaya soal lunturnya pemahaman ideologi Pancasila,” tegasnya.
Sebagai anggota Komisi XIII DPR RI, Rofiqi menilai melemahnya semangat kebangsaan di kalangan Gen Z dan milenial bukan hanya akibat derasnya budaya asing, tapi juga karena realita sosial yang belum menyentuh akar persoalan rakyat.
“Kita tak bisa bicara ideologi kalau perut rakyat masih lapar. Kalau keadilan sosial hanya jadi jargon, maka anak-anak muda akan mencari panutan dan harapan dari tempat lain—termasuk karakter fiksi,” sindirnya.
Ia mengapresiasi langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang saat ini mulai menata kembali fondasi ekonomi melalui program-program pro-rakyat seperti makan bergizi gratis.
“Program ini bukan sekadar bagi-bagi makanan. Ini juga upaya menghidupkan UMKM, menggerakkan ekonomi lokal. Kesejahteraan itu pondasi utama bagi tegaknya ideologi,” jelas Rofiqi.
Fenomena anak muda yang lebih mengenal Luffy atau Naruto dibandingkan nama pahlawan nasional menjadi sorotan serius baginya. Ia menyebut hal ini sebagai cermin lemahnya pendidikan karakter dan ideologi sejak dini.
“Dulu buku pelajaran wajib dibungkus dengan gambar Pancasila dan butir-butirnya. Itu sederhana, tapi efektif menanamkan nasionalisme. Sekarang hal seperti itu mulai ditinggalkan,” kenangnya.
Di akhir, Rofiqi mengajak masyarakat untuk tidak terlena pada tren global yang bersifat sementara, apalagi sampai melupakan nilai-nilai yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para pendiri bangsa.
“Pancasila lahir dari penderitaan, bukan dari layar anime. Kita boleh menikmati budaya luar, tapi jangan sampai kehilangan jati diri sebagai bangsa yang besar,” pungkasnya.