Padahal, pesantren tidak berdiri di atas kekuasaan, tetapi di atas ketulusan. Ia bukan lembaga yang menuhankan guru, melainkan ruang pembentukan karakter dan kepribadian yang berakar pada adab. Di pesantren, setiap manusia belajar untuk menundukkan ego di hadapan ilmu, bukan tunduk pada manusia. Dari sinilah keindahan pesantren terpancar dalam lantunan doa, kesederhanaan hidup, dan hubungan kasih sayang antara kiai dan santri yang terjalin dengan tulus.
Budaya “menundukkan diri” di hadapan kiai, mencium tangan, atau bersikap takzim bukanlah simbol feodalisme, melainkan ekspresi cinta dan kerendahan hati. Seorang santri melakukan itu bukan karena rendah derajat, tapi karena memahami bahwa ilmu tidak akan bersemayam di hati yang sombong. Mencium tangan guru bukan tanda tunduk pada manusia, melainkan simbol menerima berkah dari tangan yang mengajar dengan keikhlasan. Tradisi ini tumbuh dari nilai-nilai luhur, bukan dari rasa takut.
Bagi seorang kiai, santri bukan bawahan. Mereka adalah anak-anak ruhani, murid, sekaligus amanah dari Allah. Banyak kiai hidup dalam kesederhanaan luar biasa makan bersama santri, tidur di rumah kayu, bahkan sering memberi lebih dari yang mereka punya. Mereka bukan orang kaya harta, tapi kaya hati. Mereka tidak berkuasa secara duniawi, tapi dihormati karena keikhlasan dan keluhuran budi. Inilah wajah sejati pesantren wajah keikhlasan yang membangun peradaban, yang sayangnya jarang tersorot kamera.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, pesantren telah menjadi penopang moral dan spiritual Indonesia. Dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Jawa Timur, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Kalimantan Selatan, hingga para ulama di seluruh Nusantara, pesantren melahirkan generasi beradab yang mencintai tanah air dengan tenang, tulus, dan penuh dedikasi. Mereka tidak haus kekuasaan, melainkan berjuang dengan cinta terhadap ilmu dan bangsa.
Sayangnya, tuduhan feodalisme terhadap pesantren menunjukkan bahwa sebagian dari kita mulai kehilangan pemahaman tentang makna adab. Di era modern ini, konsep kesetaraan kerap disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Akibatnya, kritik yang seharusnya membangun justru berubah menjadi cemoohan. Padahal, bangsa ini tidak sedang kekurangan kebebasan, tetapi kekurangan rasa hormat.
Pesantren tidak alergi terhadap kritik. Namun yang diharapkan adalah kritik yang berimbang dan cerdas, bukan yang menghapus nilai-nilai luhur hanya demi sensasi atau rating. Media memiliki tanggung jawab moral untuk meneliti lebih dalam, bukan sekadar menilai dari permukaan. Sebab yang mereka soroti bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan tempat lahirnya manusia berjiwa luhur.
Sebagaimana pesan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari: “Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan, karena hal itu merupakan kejahatan besar yang bisa meruntuhkan bangunan masyarakat serta menutup pintu kebaikan di mana pun.”
Jalan pesantren memang sunyi, tidak gemerlap, tidak viral, dan jarang tampil di layar kaca. Namun, dari jalan sunyi itulah lahir generasi yang tahu cara menunduk sebelum melangkah, menghormati sebelum berbicara, dan berjuang tanpa pamrih. Selama masih ada santri yang mencium tangan gurunya dengan hormat, selama masih ada kiai yang mengajar dengan cinta, pesantren akan terus hidup menjaga bangsa ini agar tidak kehilangan adab di tengah kebebasan yang kian tak berbatas.
Tutur Muhammad HS, mantan santri yang kini menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).