REDAKSI8.COM, BANJAR, Depth News – Musim kemarau 2025 kembali menghidupkan kekhawatiran lama di Kabupaten Banjar: kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Meski setiap tahun peringatan disuarakan, ancaman itu tetap nyata.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjar bersama Tim Manggala Agni Provinsi Kalimantan Selatan kini meningkatkan langkah preventif, berpacu dengan waktu untuk mencegah bencana sebelum asap menutup langit.
Data historis menunjukkan bahwa setiap kemarau, aktivitas pembersihan lahan oleh masyarakat cenderung meningkat. Masalahnya, sebagian warga masih mengandalkan metode lama: membakar semak dan rumput kering. Praktik ini, meski cepat dan murah, adalah pemicu utama Karhutla.
“Ketika api tak terkendali, kerugian yang muncul jauh lebih besar dibanding biaya membersihkan lahan secara manual,” kata Abdullah Fahtar, SE., MM, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Banjar.
Kerugian akibat Karhutla tak hanya soal ekonomi, tetapi juga kesehatan, lingkungan, hingga reputasi daerah. Kabut asap memicu penyakit ISPA, menurunkan produktivitas, dan merusak citra daerah sebagai tujuan wisata alam.
Berbeda dari pola penegakan hukum murni, BPBD Kabupaten Banjar memilih pendekatan humanis. Tim patroli darat dan udara diterjunkan untuk berdialog langsung dengan pemilik lahan, membagikan brosur, dan menjelaskan Maklumat Kapolda Kalsel yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku pembakaran.
Edukasi ini tak sekadar larangan, tetapi juga solusi alternatif, seperti teknik membuat sekat bakar, penggunaan alat pemadam sederhana, dan praktik pembersihan tanpa api.
“Kalau hanya melarang, masyarakat akan mencari cara pintas. Tapi kalau kita beri pilihan yang aman, peluang mereka mau berubah lebih besar,” jelas Fahtar.
Salah satu fokus utama adalah membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA) dan menguatkan Desa Tangguh Bencana (DESTANA). Kelompok ini di tingkat desa diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam mendeteksi dini dan menanggulangi Karhutla.
Dalam pelatihan terbaru, warga diperkenalkan pada berbagai peralatan, mulai dari kapak Pulaski untuk membuat sekat bakar, gepyoK pemukul api untuk memadamkan bara, hingga pompa punggung dan tangki air lipat untuk menjinakkan titik api di daerah terpencil.
Meski program edukasi terus berjalan, tantangan terbesar tetap ada, benturan antara kesadaran lingkungan dan kebutuhan ekonomi. Di beberapa wilayah, pembakaran dianggap cara paling efisien membuka lahan pertanian atau perkebunan. Bahkan, ada indikasi sebagian Karhutla dipicu kepentingan bisnis besar.
“Kita bicara bukan hanya soal perilaku individu, tapi juga pola industri,” ungkap salah satu narasumber Tim Manggala Agni. “Kalau perusahaan tidak ikut patuh, sulit mengendalikan Karhutla secara total.”
Dari hasil evaluasi, pencegahan Karhutla memerlukan kombinasi pendekatan sosial, penegakan hukum tegas, dan penyediaan sarana pemadam di tingkat lokal. BPBD mendorong pemerintah daerah dan swasta menyediakan peralatan yang bisa dikelola secara mandiri, termasuk di perusahaan perkebunan.

Selain itu, pelatihan intensif bagi relawan desa harus menjadi program berkelanjutan, bukan sekadar respons musiman.
Karhutla adalah masalah yang merampas lebih dari sekadar pohon, ia mengambil udara bersih, air sehat, dan masa depan generasi berikutnya. Upaya BPBD Banjar saat ini adalah investasi jangka panjang untuk memastikan musim kemarau tak lagi identik dengan musim asap.
“Jaga alam kita, maka alam akan menjaga kita,” pungkas Fahtar,