Tradisi tahunan yang menjadi ikon budaya pesisir Tanah Bumbu ini sejatinya bukan hanya ritual syukur atas hasil laut, tetapi juga nadi penggerak ekonomi warga. Setiap tahun, ribuan pengunjung tumpah ruah di Pantai Pagatan, membawa berkah bagi pedagang kecil, pengrajin lokal, penyedia wahana permainan, hingga seniman tradisional.
“Kami seperti berjalan dalam gelap. Tidak ada kabar, tidak ada kejelasan. Biasanya sekarang sudah ramai tenda-tenda dan persiapan. Tapi sekarang? Sepi,” tutur Rini, pedagang makanan khas Pagatan yang tiap tahun mengandalkan momen ini untuk meraup penghasilan tambahan.
Ketidakpastian ini mengusik roda ekonomi kecil yang selama ini menggantungkan asa pada pesta rakyat tersebut. Herman, pemilik wahana permainan anak, mengaku omzetnya tahun lalu bisa menembus jutaan rupiah dalam sepekan. Tahun ini, ia bahkan belum berani memesan perlengkapan dagang.
“Kami tidak tahu harus mulai dari mana. Semua masih tanda tanya. Kalau ditiadakan, kami kehilangan momentum terbesar dalam setahun,” ujarnya dengan nada kecewa.
Pesta Laut Pagatan selama ini tak hanya menarik wisatawan lokal, tetapi juga menjadi magnet budaya nasional. Dari iring-iringan perahu hias hingga sajian seni tradisional, semuanya adalah warisan yang dirawat turun-temurun. Namun tanpa dukungan nyata dan informasi yang transparan dari pihak terkait, warisan ini terancam memudar.
Kini masyarakat hanya bisa menunggu dan berharap, agar pemerintah dan panitia penyelenggara segera angkat bicara. Sebab di balik kemeriahan yang biasanya hadir, tersimpan harapan hidup ratusan pelaku usaha kecil yang tak ingin tradisi ini sekadar menjadi kenangan.

