REDAKSI8.COM, NASIONAL – Berdasarkan data dari Komnas Perempuan dan Mitra Catatan Tahunan (CATAHU) kekerasan terhadap perempuan terdapat peningkatan kasus dari tahun 2023.


Tercatat, ada sebanyak 445.502 atau 9,77 persen yakni 43.527 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Sedangkan menurut data Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) dalam CATAHU 2024 ada 330.097 kasus, sehingga terjadi peningkatan 14,17% dibandingkan tahun 2023.
Dimana data KBGtP untuk putusan pengadilan berjumlah 291.213 kasus lebih banyak dibandingkan dengan data pelaporan 38.788 kasus dan penuntutan 96 kasus.
Jika dikategorikan, maka berdasarkan pada bentuk kekerasan, data Komnas Perempuan dan data pelaporan kasus dari mitra CATAHU 2024 yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%) dan kekerasan ekonomi (9,84% ).
Namun, pada tahun ini terjadi pergeseran data dibandingkan tahun 2023 dimana data kekerasan yang paling banyak dilaporkan kekerasan psikis.
Khususnya pada data mitra CATAHU, kekerasan seksual menunjukkan angka tertinggi 17.305, kekerasan fisik 12.626, kekerasan psikis 11.475, dan kekerasan ekonomi 4.565.
Sedangkan data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa kekerasan psikis masih mendominasi dengan jumlah sebesar 3.660, diikuti dengan kekerasan seksual 3.166, kekerasan fisik 2.418, dan kekerasan ekonomi 966.
Adapun karakteristik korban dan terlapor menunjukkan selisih yang berbeda, hal ini disebabkan adanya kondisi dalam satu kasus bisa dialami oleh beberapa korban dengan satu pelaku yang sama.
Demikian, jika berdasarkan usia menunjukkan bahwa jumlah terbesar korban pada rentang usia 18-24 tahun (1.474 orang).
Oleh karena itu, pelaku terbanyak masuk dalam kategori usia yang tidak teridentifikasi (NA) sejumlah 2.014 orang.
Kemudian, karakteristik tingkat pendidikan memperlihatkan, korban dan pelaku atau terlapor yang terbanyak adalah jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan catatan paling banyak adalah berpendidikan SMA/sederajat.
Tren ini sama dengan tren sebelumnya, usia dan pendidikan pelaku atau terlapor lebih tinggi ataupun lebih tua dari pada korban maupun pelapor.
Hal ini menunjukkan, relasi kuasa masih sangat mewarnai KBGtP. Berkaitan dengan karakteristik jenis pekerjaan yang dihimpun Komnas Perempuan.
Sehingga jenis pekerjaan atau status korban yang paling banyak terdiri dari pelajar atau mahasiswi, ibu rumah tangga (IRT), pegawai swasta, tidak bekerja dan lainnya.
Pola ini hampir sama terjadi pada pelaku atau terlapor dimana pekerjaan pelaku paling banyak adalah pegawai swasta, pelajar, mahasiswa dan tidak bekerja.
Maka, jika dilihat data pelaku lebih rinci, orang-orang yang diharapkan menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), Guru, Dosen, Aparat Penegak Hukum (APH), Pemerintah, Polisi, TNI, Tenaga Medis/Kesehatan, Pejabat Publik/Negara dan Tokoh Agama yang berjumlah 244 orang, atau 7,09% dari total pelaku yang diketahui profesinya.
Kemudian, di ranah personal, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) paling tinggi dilaporkan sebagaimana terjadi dalam semua laporan CATAHU sejak tahun 2001.
Komnas Perempuan menerima pengaduan KTI sebanyak 672 kasus dan ini merupakan jumlah kasus tertinggi.
Selanjutnya, sama seperti di tahun 2023 jumlah kekerasan terbanyak kedua adalah Kekerasan Mantan Pacar (KMP) sebanyak 632 kasus, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) sebanyak 407 kasus.
Tak sampai disana pada 2024, masih terjadi pelanggaran hak fair trial dan hak maternitas terhadap perempuan yang berkonflik dengan hukum.
Bahkan, Komnas Perempuan mencatat berbagai bentuk kriminalisasi dan ketidakadilan hukum, terutama terhadap perempuan lansia, disabilitas, anak perempuan, perempuan korban kehamilan tidak diinginkan (KTD), serta perempuan di industri hiburan.
Selain itu, tahun 2024 juga telah ditetapkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mendorong kondisi yang lebih kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa hukum pidana belum mempertimbangkan ketidakadilan gender, diskriminasi, eksploitasi, serta tekanan struktural yang dialami oleh perempuan.
Ditingkat nasional, telah disahkan 4 peraturan pelaksana UU TPKS yaitu (i) Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,(ii) Perpres Nomor 55 Tahun 2024 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), (iii) PP Nomor 27 Tahun 2024 tentang Koordinasi dan Pemantauan TPKS , (iv) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu dalam Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Pemerintah Pusat.
Itu pun masih terdapat 3 peraturan pelaksana UU TPKS yang belum disahkan yaitu: (i) RanPP tentang Pencegahan, Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, RanPP Dana Bantuan Korban TPKS dan (iii) RanPerpres tentang Kebijakan Pemberantasan Tindak Kekerasan Seksual.
Padahal UU TPKS memandatkan keseluruhan peraturan pelaksana dibentuk setelah dua tahun diundangkan.
Dengan keterlambatan pembentukan peraturan perundangundangan ini, menyebabkan pemenuhan hak-hak korban TPKS tidak optimal.
Sehingga sejumlah RUU terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan kebijakan lainnya mengalami penundaan dalam periode DPR 2019-2024.