REDAKSI8.COM – 14 Desember 2019, tepat 4 tahun, salah satu putera terbaik banua wafat, ya, pada tanggal 27 januari 2016 atau 17 rabiul akhir 1437 Hijriyah, H Ahmad Makkie berpulang ke rahmatullah. Pria yang multi talenta, pria biasa yang menjadi luar biasa dalam perjalanan hidupnya.
Mengukir tinta emas dalam peta perjalanan Kalimantan Selatan, bahkan turut mewarnai peta perjalanan Negara Republik Indonesia.
Berikut perjalanan sang maestro, yang dinukil dari buku biografi H Ahmad Makkie yang berjudul ; Pengembara Dari Datar Alai.
SEBELUMNYA :
……. Anak Pondok itu masih mengingat nama-nama guru yang pernah mengajarnya, di Madrasah PPI Birayang, dia menyebut nama H.Sahran, Iderak, H.Basuni. Guru di SMP Mandiangin, dia menyebut nama M.Nunci dan Selamat alaumni Pondok Modern Gontor. Di pesantren Rakha dan Fakultas Ushuluddin Amuntai, dia menyebut nama-nama KH.Djuhri Sulaiman, KH.Asy’ ari, KH.Abd.Muthalib, A.Nabhan Rasyid, KH. Abd. Wahab Sja’rani, serta nama-nama dosen lulusan IAIN Yogyakarta seperti Kamdani Azmi, B.A., Hamzah Abbas, B.A, (kini Drs.), Drs.M.Ajidan Noor, Drs.S.Agil Assegaf, Drs.M.Hamli, M.Rafi’i, B.A. (kini Drs., M.A.), KH.Irsyad Djahri, KH.Adenani Iskandar (kini Drs.), Abdullah AA, B.A. serta H.Darjat, B.A. dan Drs.Syahriri Y.Pamuncak.
Qari KIAA
Menjelang magrib, Makkie yang sudah berangkat remaja bersiap-siap pergi ke surau yang terletak tidak jauh dari rumahnya di Luk Basar. Di surau yang bernama Hurul Ain itu, ia sering mengumandangkan azan. Surau itu terletak di pertigaan jalan yang diberi nama Simpang Tiga Gembira. Setelah shalat maghrib, ia bersama teman-temannya pergi ke rumah guru mengaji untuk belajar membaca Qur’an.
Bila ada warga yang meninggal dunia biasanya diadakan tadarus Al-Qur’an satu khatam. Tadarusan Qur’an yang diadakan setiap malam selama 30 hari itu, diikuti oleh Makkie untuk memperlancar bacaannya.
Ayahnya bercita-cita menjadikan Makkie seorang qari. Untuk mengembangkan bakat anaknya itu, ia mempercayakan kepada KH.Abd.Rahman Qurra seorang qari ternama di Kampung Batali Barabai (1957). Makkie sering diundang membaca Qur’an di Anjir Serapat, Barabai, Rantau, Kandangan, Amuntai, Tanjung, dan lain-lain. Para qari senior yang dikenalnya antara lain H.Abdul Muthalib dari Martapura, H.Darmawan, Muhammad Aini, dan Kaspul Anwar dari Amuntai, H.Kaderi dan M.Jahri Fadli dari Banjarmasin, H.Matran Salman, M.Jazuli, dan H.Bustami Ahmad dari Barabai (1963-1974). Dari mereka itulah Makkie mengenal lagu-lagu Bayati, Husaini Saba, Hijaz Nahwan, Sikkah, Ras, dan kemudian mengajarkannya kepada murid-muridnya.
Agar penampilan Qari Cilik itu tidak kalah dengan Qari yang telah dewasa, ayahnya membuatkan baju jas untuk dipakai pada saat mengaji di tengah khalayak. Penjahit baju jas itu, H.Bahri, seorang penjahit terbaik di Birayang pada waktu itu.
Melalui organisasi Jam’iyyatul Qurra Wal Huffadz pimpinan H.Darmawan di Amuntai, Makkie menekuni seni baca Al Qur’an. Ia berhasil meraih juara pertama pada perlombaan membaca Al-Qur’an diadakan oleh Jam’iyyatul Qurra Wal Huffazd Provinsi Kalimantan Selatan pimpinan K.H.Mahlan Amin di Banjarmasin pada tahun 1961.
Kemudian pada tahun 1963 Makkie berhasil lagi meraih prestasi sebagai Qari Terbaik Kedua dalam Perlombaan Membaca Al-Qur’an se Kalimantan Selatan yang diadakan oleh Pemerintah Daerah. Qari Terbaik Pertama diraih oleh Syamsuri Arsyad (alm). Gubernur H.Aberani Sulaiman memberikan Piala Kejuaraan kepada Makkie beserta hadiah-hadiah lainnya dari berbagai kalangan. Prestasi itulah yang mengantarkan Makkie ke puncak kariernya, sesuai dengan cita- cita ayahnya. Pada tahun 1965, Makkie terpilih menjadi Qari KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika).
Di Amuntai ia mengajar mengaji di beberapa tempat, antara lain, di Muara Baruh, Telaga Silaba, Ilir Masjid, Teluk Baru, Sungai Banar, Paliwara, dan Sungai Karias. Kegiatan mengajar mengaji itu ia kembangkan dengan membuka Taman Bacaan Al-Qur’an bagi para pegawai bertempat di ruang Taman Kanak-Kanak Pertiwi dekat rumahnya di Komplek Raga Buana Amuntai.
Di Amuntai seminggu sekali diadakan Lailatul Qira’ah. Kegiatan itu diikuti oleh para qari baik yang tua maupun yang muda di antaranya H.Darmawan, M.Aini, Abdul Hadi, M.Rafi’i, Abdul Wahab, guru Irman, Umar Baqi, Umar Hamdan, M.Ramli, Sagir, Sofian Sauri, H.Gazali, Murhan, dan Abu Bakar.
Pada tahun 1970, di Amuntai diadakan MTQ tingkat Provinsi Kalimatan Selatan. Dalam kepanitiaan MTQ itu, Makkie ditunjuk sebagai Sekretaris Panitia. Gubernur Kalimantan Selatan M. Yamani datang ke Amuntai untuk membuka secara resmi MTQ tersebut. Upacara pembukaan MTQ yang berlangsung di lapangan Pahlawan Amuntai itu sangat meriah. Untuk pertama kalinya ditampilkan paduan suara Shalawat Badar. Makkie bertindak sebagai pembawa acara.
Dalam rangka penyampaian hasil-hasil KIAA, para qari dari berbagai daerah di Indonesia mengunjungi Kalimantan Selatan. Di Amuntai rombongan qari tersebut diterima oleh Bupati Masconi di Kantor Bupati HSU. Di antara qari ternama itu terdapat Abdul Aziz Muslim, Musyaffa Ahmad, Fuad Zen dari Jawa, Chuwailid Daulay dan Hasan Basri dari Sumatera, Muhammad Dong dari Sulawesi, dan banyak lagi qari dari daerah-daerah lain.
Beberapa waktu kemudian datang lagi dua orang qari dari Mesir, yaitu Zahran dan Mujahid. Makkie ditugaskan mendampingi mereka mengunjungi daerah-daerah di Kalimantan Selatan. Kesempatan berkumpul dengan kedua qari internasional itu dimanfaatkan oleh Makkie untuk menimba ilmu dan seni baca Al-Qur’an.
Mengenang Ayah Bunda
Ayah Makkie, adalah seorang ulama yang lahir dan menimba ilmu di Mekkah. Beberapa waktu setelah kembali ke tanah air, ia giat berdakwah dan menikah dengan Badariah urang Luk Basar yang kemudian menjadi ibunda Makkie. Di masa revolusi ia lama berpisah dengan keluarganya karena ikut berjuang melawan penjajah. Ia bergabung dengan pasukan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dibawah pimpinan Hasan Basry yang kelak dikenal sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Ulama itu ikut memanggul senjata dan bertempur di medan laga.
Di masa revolusi, pejuang itu membawa anak isterinya naik perahu melintasi Danau Caramin menuju Awang Sumanggi. Di tengah danau mereka berpapasan dengan militer Belanda yang sedang berpatroli. Mereka selamat. Rupanya militer Belanda itu tidak melihat perahu yang ditumpangi oleh Tuan Guru yang berseragam tentara gerilya itu, padahal jaraknya sangat berdekatan. Setelah menempuh perjalanan semalam suntuk, pagi harinya mereka tiba di Kampung Sumanggi. Dari sana mereka berjalan kaki menuju Birayang.
Tuan Guru itu tidak berbakat jadi tentara, pangkat Letnan Satu yang diberikan kepadanya dilepaskannya tidak lama setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia pada tanggal 29 Desember 1949. Letnan itu kembali ke masyarakat, diberi pesangon Rp.50 dan lima meter kain berwarna hijau. Sampai akhir hayatnya ia tidak pernah mendapat tunjangan veteran, karena ia tidak pandai mengurusnya. Biar ‘tunjangan’ itu saya terima di akhirat saja nanti, ujar Tuan Guru itu.
Setelah kembali ke masyarakat ia aktif mengajar agama dan berjualan kitab-kitab agama sambil mendakwahkan pelajaran sifat dua puluh di pasar-pasar. Penghasilan mengajar agama dan berdagang kecil kecilan itu tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya, apalagi membiayai sekolah anak-anaknya. Karena itulah, anak-anaknya sempat mengalami putus sekolah.
Pada suatu saat dia memutuskan untuk pergi ke Mekkah mencari anaknya Siti Khadijah. Ia berhasil menemukan anaknya ditinggalkan sejak dalam kandungan itu. Selama tinggal di Mekkah ia berdagang mengikuti orang-orang Banjar yang telah lama bermukim di sana.
Tiga tahun kemudian, ia pulang ke tanah air dan berkumpul kembali dengan anak isterinya. Tuan Guru itu tinggal di Banjarmasin dan kembali mengajar agama di Pasar Lama, Kelayan, Teluk Tiram, Beringin dan Teluk Dalam.
Tahun 1979 ia menunaikan ibadah haji bersama isteri dan anaknya, Ahmad Hijazi dan isteri. la meninggal di Surabaya pada hari Kamis tanggal 15 November 1979 dalam perjalanan pulang dari tanah suci. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Jenazahnya dimandikan di atas pangkuan anak-anaknya, dan dishalatkan oleh ribuan jemaah di Masjid Sunan Ampel pada subuh Jum’at. Jenazah Tuan Guru itu dibawa ke Amuntai dan dimakamkan di samping makam ayahnya di Sungai Banar. Ibu Makkie, Hj.Badariah, rajin bekerja di sawah dan mengasuh anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. la sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya karena menyadari kekurangannya. Ibu itu menyesali masa kecilnya yang tidak sempat bersekolah. Pada masa itu orang tua melarang anak-anaknya bersekolah sebab kalau pandai menulis nanti akan batarasulan (berkiriman surat dengan laki-laki).
Ibu itu iri melihat teman-temannya yang hidup berkecukupan karena mereka sekolah, tidak seperti dia yang hanya jadi petani. la menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya agar tidak mengalami nasib seperti dirinya. Kendatipun buta huruf, ibu itu cepat menangkap setiap pelajaran. Ia sangat rajin mengikuti pengajian di masjid dan mengamalkan tasbih, zikir dan shalawat.
Ibu yang bertempramen tinggi itu sangat menyayangi anak-anaknya. Jika ada yang mengganggu anaknya, ia tidak takut menghadapi siapa saja untuk membela anaknya. Sekali waktu ibu yang pemberani itu, nekad masuk ke kantong gerilya bemaksud untuk menemui suaminya. Di sana ia diterima oleh H.Aberani Sulaiman Kepala Staf ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Kebetulan pada saat itu suaminya sedang bertugas di daerah lain, karenanya ia tidak bisa bertemu dengan ayah anak-anaknya.
Ibu Makkie sangat menghormati tamu, apalagi keluarga. Tamunya tidak boleh pulang, sebelum mencicipi hidangan yang ia sediakan, Badar demikian ia disapa, sangat mengagumi orang-orang pintar, khususnya wanita. la tahan berjam-jam duduk di muka televisi untuk menyaksikan Tuti Aditama membaca berita. Beberapa bulan sebelum meninggal, ibu yang telah berusia hampir 80 tahun itu, rajin berkunjung dan bermalam di rumah anak-anaknya yang tinggal berjauhan dengannya, ada yang di Tanjung, ada yang di Amuntai, dan ada juga yang di Kuala Kapuas. Menjelang akhir hayatnya ia menetap di rumah anaknya yang tertua H.Ahmad Makkie di Jalan Cempaka Sari II No.78 Banjarmasin. Ibu dari enam orang anak itu mengakhiri hidupnya dengan tenang pada hari Sabtu 30 November 1996 bertepatan 19 Rajab 1417 H. pukul 06.00 WITA di hadapan anak-anaknya yang sedang membacakan surah Yasin. Innalillahi wainna ilaihi ra’jiun. Sesuai dengan wasiatnya jenazah ibu tercinta itu dimakamkan di kampung Luk Basar di samping makam ibunya.
Makkie selalu mengenang ayah bundanya. Setiap selesai shalat Magrib dan Subuh ia menyempatkan membaca surat Yasin, Al Waqiah. dan Al Mulk, serta mendoakan mereka agar selalu mendapat curahan rahmat dari Allah SWT. Pada hari raya atau kesempatan lain Anak Pondok itu membawa anak isterinya dan adik-adiknya menziarahi makam ayah bundanya di Sungai Banar dan Luk Basar. Hal itu ia lakukan untuk memotivasi anak-anaknya agar tetap memelihara hubungan persaudaraan di antara mereka dan menghormati orangtua.
Risalah Tauhid
Ayah Makkie tidak meninggalkan warisan apapun kepada anak- anaknya, satu-satunya pusaka yang diwariskannya adalah Risalah Tauhid yang ditulisnya pada tanggal 6 Sya’ban 1353 H berjudul:
KALIMATUN NAJAH FI USHULUDDIN
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Segala puji bagi Allah dengan puji-pujian yang banyak. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Muhammad, Nabi pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.
Kemudian daripada itu, inilah kalimat yang melepaskan orang yang mengetahui dari siksa api neraka. Kalimat tersebut ialah kalimat tauhid dan segala sifat yang wajib bagi Allah SWT, yang mustahil, dan yang harus disertai dengan dalil yang jamali (bersifat global).
- Wujud, artinya ada. Lawannya adam artinya tiada. Dalil eksistensi Allah SWT tersebut ialah segala makhluk.
- Qidam, artinya sedia. Lawannya Hudust artinya baharu. Dalil Allah SWT itu sedia ialah segala makhluk.
- Baqa, artinya kekal. Lawannya Thuruwwul adam, artinya didatangi oleh tiada. Dalil Allah SWT kekal ialah segala makhluk.
- Mukhalafatuhu ta’ala lilhawadits, artinya bersalahan (berbeda) Allah SWT dengan segala yang baharu. Lawannya Mumatsalatuhu ta’ala lilhawadits, artinya bersamaan Allah SWT dengan yang baharu. Dalil Allah SWT berbeda dengan yang baharu adalah segala makhluk.
- Qiyamuhu ta’ala binafsihi, artinya berdiri Allah SWT dengan zat-Nya. Lawannya an la yakuna qa’iman binafsihi, artinya tiada Allah SWT berdiri dengan zat-Nya. Dalil Allah SWT berdiri dengan zat-Nya ialah segala makhluk.
- Wahdaniyat, artinya esa (tunggal). Lawannya an layakuna Wahidan, artinya bahwa tiada Allah SWT itu esa (tunggal). Dalil Allah SWT esa ialah segala makhluk.
- Qudrat artinya kuasa. Lawannya ajaz artinya lemah. Dalil Allah SWT kuasa ialah segala makhluk.
- Iradat, artinya berkehendak. Lawannya Karahah, artinya benci. Dalil Allah SWT berkehendak ialah segala makhluk.
- Ilmu, artinya tahu. Lawannya Jahl, artinya bebal (bodoh). Dalil Allah SWT tahu ialah segala makhluk.
- Hayat, artinya hidup. Lawannya Ma/ft, artinya mati. Dalil Allah SWT hidup ialah segala makhluk.
- Sama, artinya mendengar. Lawannya Shamam, artinya tuli. Dalil Allah SWT mendengar ialah segala makhluk.
- Bashar, artinya melihat. Lawannya ‘ama (‘umyun), artinya buta. Dalil Allah SWT melihat ialah segala makhluk.
- Kalam, artinya berkata-kata. Lawannya Bakam (buktnun), artinya bisu. Dalil Allah SWT berkata-kata ialah segala makhluk.
- Kaunuhu qadiran, artinya keadaan Allah SWT yang kuasa. Lawannya Kaunuhu ‘ajizan, artinya keadaan Allah SWT yang lemah. Dalil keadaan Allah SWT yang kuasa ialah segala makhluk.
- Kaunuhu ‘muridan, artinya keadaan Allah SWT yang berkehendak. Lawannya Kaunuhu ‘ajizan, keadaan Allah SWT yang lemah. Dalil keadaan Allah SWT yang berkehendak adalah segala makhluk.
- Kaunuhu ‘a’iman, artinya keadaan Allah SWT yang tahu. Lawannya Kaunuhu jahilan, keadaan Allah SWT yang bebal (bodoh). Dalil keadaan Allah SWT yang tahu adalah segala makhluk.
- Kaunuhu hayyan, artinya keadaan Allah SWT yang hidup. Lawannya Kaunuhu mayyitan, artinya keadaan Allah SWT yang mati. Dalil keadaan Allah SWT yang hidup adalah segala makhluk.
- Kaunuhu sami’an, artinya keadaan Allah SWT yang mendengar. Lawannya kaunuhu ashamma, artinya keadaan Allah SWT yang tuli. Dalil keadaan Allah SWT yang mendengar adalah segala makhluk.
- Kaunuhu bashiran, artinya keadaan Allah SWT yang melihat. Lawannya kaunuhu a’ma, artinya keadaan Allah SWT yang buta. Dalil keadaan Allah SWT yang melihat adalah segala makhluk.
- Kaunuhu mutakaliman, artinya keadaan Allah SWT yang berkata-kata. Lawannya kaunuhu abkama, artinya keadaan Allah SWT yang bisu. Dalil keadaan Allah SWT yang berkata skata adalah segala makhluk.
Sifat dua puluh itu terbagi kepada empat bagian. Pertama sifat nafsiyah, kedua sifat salbiyah, ketiga sifat ma’ani dan keempat sifat ma’nawiyah.
Sifat Nafsiyah yaitu keadaan (hal) yang wajib bagi zat Allah SWT. Selama kekal zat itu dalam keadaan tidak disebabkan oleh suatu sebab apa pun, yaitu satu sifat: wujud.
Sifat Salbiyah yaitu sifat yang menunjukan penafian (peniadaan) sesuatu yang tidak patut dengan zat Allah SWT, sifat dimaksud ialah: qidam, baqa’, mukhalafatuhu ta’ala lilhawadits, qiyamumuhu binafsih dan wahdaniyat.
Sifat Ma’ani yaitu tiap-tiap sifat yang maujud yang berdiri dengan zat yang maujud yang mewajibkan baginya suatu hukum, yaitu tujuh sifat : qudrat, Iradat, ilmu, hayat, sama’, bashard dan kalam.
Sifat Ma’nawijah yaitu hal (keadaan) yang wajib bagi zat selama kekal zat itu hal keadaannya dikarenakan oleh suatu karena, yaitu tujuh sifat: kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu ‘aliman, kaunuhu hayyan, kaunuhu sami’an, kaunuhu bashiran, kaunuhu mutakalliman.
Di samping pembagian di atas, sifat dua puluh itu terbagi pula kepada tiga bagian:
Sifat nafsiyah dan ma’nawyak maujud (ada) keduanya pada zihin dan tidak maujud keduanya pada kharij.
- Sifat Salbiyah tidak maujud pada zihin dan tidak maujud pula pada kharij, tetapi keduanya maujud pada khabar.
- Sifat ma’ani maujud pada zihin dan kharij.
Adapun yang harus pada hak Allahi SWT ialah memperbuat tiap- tiap yang mumkin atau meninggalkannya( tidak memperbuatnya). Makna kalimat La ilaha illallah ialah tiada yang kaya daripada tiap-tiap barang yang lainnya dan yang berkehendak kepadanya oleh tiap-tiap barang yang lainnya, hanya Allah. Dan mewajibkan oleh kaya Tuhan daripada tiap-tiap barang yang lainnya baginya Allah SWT akan sebelas sifat, yaitu : wujud, qidam, baqa, mukhalafatthu lilhawadits, qiyamuhu binafsih, sama’, bashar, kalam, kaunuhu sami’an, kaunuhu bashiran, kaunuhu mutakalliman.
Lawannya sebelas juga, yaitu: adam, hudust, thurwvul ‘adam, mumatsalatuhu ta ‘ala lilhawadits, an layakuna qa ‘iman inafsihi, shamam, ama, bakam, kaunuhu ashammu, kaunuhu a’ma dan kaunuhu abkamu. Difaham daripada kaya Tuhan daripada tiap-tiap barang yang lainnya akan tiga perkara, yaitu:
Pertama, suci Allah SWT daripada mengambil faedah pada segala perbuatannya daripada segala hukumnya. Kedua, tiada wajib atas Allah SWT memperbuat tiap-tiap mumkin atau meninggalkanmya. Ketiga bahwa tiada memberi bekas bagi sesuatu daripada sekalian kainat dengan kuat yang telah menjadikan Allah SWT akan dia kuat oleh Allah SWT Ä‘ idalamnya sesuatu.
Lawannya tiga juga yaitu:
Pertama Tiada suci Allah SWT daripada mengambil faedah pada segala perbuatan-Nya dan pada segala hukum-Nya. Kedua, Wajib atas Allah SWT memperbuat tiap-tiap mumkin atau meninggalkannya. Ketiga, bahwa memberi bekas bagi sesuatu daripada sekalian kainat dengan kuat yang telah menjadikan akan dia kuat oleh Allah SWT didalam sesuatu. Dan mewajibkan oleh berkehendak tiap-tiap barang yang lainnya kepadanya baginya Allah SWT akan sembilan sifat, yaitu: qudrat, iradat, ilmu, hayat. Kaunuhu qadiran, kaunuhu muridan, kaunuhu ‘aliman, kaunuhu hayyan dan wahdaniyat.
Lawannya sembilan pula, yaitu : ‘ajaz, karahah, jahl, maut, kaunuhu ‘ajizan, kaunuhu karihan, kaunuhu jahilan, kaunuhu mayyitan dan an layakuna wahidan.
Difaham daripada berkehendak tiap-tiap barang yang lainnya kepadanya akan dua perkara. Pertama, bahwa tidak memberi bekas bagi sesuatu daripada sekalian kainat dengan tabiatnya. Kedua, baharu alam ini dengan sekaliannya. Lawanya juga dua, yaitu bahwa memberi bekas bagi sesuatu daripada sekalian kainat dengan tabiatnya.
Sebelas dengan tiga menjadi 14 dan sembilan dengan dua menjadi sebelas. 14 dan 11 menjadi 25, dan dengan lawannya yang 25 menjadi 50 aqidah (aqaid). Semuanya terkandung di dalam kalimat La ilaha illallah.
Muhammadur Rasulullah
Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah
Yang wajib pada Pesuruh Allah itu tiga perkara : Shiddiq (benar), amanah (kepercayaan) dan tabliq (menyampaikan), sedangkan yang harus satu, yaitu berperangai seperti perangai tubuh manusia.
Lawannya tiga pula, yaitu kizb (dusta), khiyanat (culas/curang) dan kitman (menyembunyikan) dan tiada harus berperangai seperti perangai tubuh manusia. Masuk padanya pula empat perkara. Pertama, percaya akan sekalian nabi. Kedua, percaya akan sekalian malaikat. Ketiga, percaya akan sekalian kitab yang diturunkan dari langit. Keempat, percaya akan hari kiamat.
Lawannya empat juga. Pertama, tiada percaya akan sekalian nabi. Kedua, tiada percaya akan sekalian malaikat. Ketiga, tiada percayaakan sekalian kitab yang diturunkan dari langit. Keempat, tiada percaya akan hari kiamat. Semua yang 16 tersebut di atas terhimpun di dalam kalimat Muhammadur Rasulullah. Dengan demikian, 50 dengan 16 menjadi 66 aqidah (aqaid).
Ini Doa Istigfar Hendaknya dibaca bersungguh-sungguh malam dan siang, untuk minta ampun kepada Allah SWT.
Astagfirullahal ‘azhim alladzi la ilaha ilia huwa al-hayyul qayyumu wa atubu ilaih
Aku meminta ampun kepada Allah Yang Maha Besar, yang tidak ada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Dia. Ia adalah Tuhan Yang Hidup lagi berdiri sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya
Min kulli dzanbin adznabtuhu ‘amdan au khatha’an, sirran au’alaniyatan
Daripada tiap-tiap dosa yang aku perbuat secara sengaja atau tersalah, di dalam had atau dosa yang nyata
Shaqiran au kabiran innaka anta qhaffarudz dzunud fattahul qulud
Dosa kecil atau dosa besar. Bahwasanya Engkau Tuhan Yang Sangat Mengampuni segala dosa lagi membukakan segala hati
Satarul ‘uyub, kasyiful kurub wa atubu ilaika minadz dzunub allati a’lamu
Lagi menutup segala aib lagi menghilangkan segala kedukacitaan. Dan aku bertaubat kepada-Mu daripada segala dosa yang aku ketahui
Wa minadz dzunub allati la a’lamu. Innaka anta
‘allamul qhuyub
Dan daripada segala dosa yang tiada aku ketahui /bahwasannya Engkau Tuhan Yang Sangat mengetahui segala yang gaib-gaib.
La haula wala quwwata ilia billahil ‘aliyyil azhim.
Tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Aku tutup pembicaraan ini dengan ucapan allhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Amin. Semoga Allah memberika kemaafan kepada kita, kedua orangtua kita, dan seluruh kaum muslimin. Amin.
Suara Azan Membawa Rezeki
Di Tanah Grogot Makkie dititipkan oleh ayahnya pada keluarga Mansyur yang berdagang bahan makanan. Dan kemudian ia ditampung oleh Bahrunhan, yang bekerja sebagai pengusaha pelayaran Mahakam Shipping.
Suatu ketika Anak Pondok itu ditugaskan menjual garam ke perkampungan nelayan. Untuk itu ia harus mengarungi laut dengan sebuah perahu Bugis berukuran besar. Berminggu-minggu ia di laut bersama anak buah perahu yang berasal dari Bugis namun barang dagangannya belum juga laku.
Menjelang magrib Makkie membaca Qur’an dan mengumandangkan azan magrib di perahu. Suara azan itu didengar oleh orang-orang di pantai. Salah seorang warga di perkampungan nelayan itu datang ke perahu dan kemudian membawa Makkie ke rumahnya.
Keesokan harinya ia diminta menjadi imam shalat Jumat di masjid. Barang dagangannya, habis terjual pada sore harinya. Rupanya orang yang menjemputnya itu adalah tokoh yang disegani di perkampungan nelayan yang dihuni oleh suku Bajau. Dengan gembira ia kembali ke Tanah Grogot dan menceritakan pengalamannya itu kepada induk semangnya. Semua itu adalah berkat Al-Qur’an, kata mereka sambil memberikan pujian kepada Anak Pondok itu.
Pada pertengahan tahun 1956 ia dipanggil oleh ayahnya kembali ke Birayang. Dari Tanah Grogot ia berangkat menuju Balikpapan dan atas bantuan familinya, H.Asmari, yang bekerja sebagai penjahit di sana, ia berhasil menumpang pesawat terbang DAUM yang akan berangkat ke Banjarmasin. Itulah pengalaman pertamanya terbang di udara. Dengan bangga ia menceritakan pengalamannya itu kepada orangtua dan sanak keluarganya. Mereka terheran-heran dan ikut bangga. Dengan uang hasil jerih payahnya selama di perantauan ia mencoba berdagang.
Di Birayang Makkie mula-mula berdagang rokok, mendatangi pasar-pasar mingguan bersama temannya Mursidi yang sudah berpengalaman berdagang rokok. Setiap pagi ia mendatangi pasar-pasar mingguan di wilayah Hulu Sungai Tengah dengan naik sepeda. Di kesempatan lain, Makkie mambalantik (perantara) jual beli sepeda bekas bersama temannya, Karjah.
Makkie suatu ketika bersama adiknya Madani mencoba berdagang ikan asin. Mereka pergi ke Balikpapan untuk membeli ikan asin. Di tengah perjalanan kembali ke Banjarmasin hujan turun sangat deras. Truk mereka tumpangi amblas dan tidak bisa bergerak maju, mereka terpaksa bermalam di Batu Botok, tidur di atas tumpukan ikan asin.
Menikah
Pada tanggal 27 November 1958 dalam usia 20 tahun, Makkie menikah dengan Siti Sarah, seorang guru SD di Birayang, Perkawinan Makkie dan Sarah dimeriahkan dengan kesenian sinoman hadrah dari Amuntai. Dengan setelan jas wama abu-abu dan dasi merah pengantin laki-laki itu berjalan sejauh dua kilometer menuju rumah pengantin perempuan yang terletak di Kampung Ipil. Pemain payung yang berkumis tebal itu memutar-mutar payung sambil baigal (menari). Ramai orang di sepanjang jalan menonton sinoman yang baru perama kali digelar di Birayang. Orkes Delima dari Paringin ikut memeriahkan. Mereka berangkat dari Paringin ke Birayang dengan truk PU yang biasa digunakan untuk mengangkut batu kerikil.
Di rumah mempelai wanita telah tersedia patataian (pelaminan) yang dihiasi dengan pucuk hanau dan kambang batu. Pada waktu pengantin bersanding ditaburkan beras kuning dan dibacakan shalawat Nabi oleh yang tertua di antara yang hadir. Para penonton menyahut shalawat itu dengan suara yang gemuruh, salim…… salim….. salim. (seharusnya Allahumma shalli wasallim alaih).
Serangkaian dengan itu tampil secara bergantian dua orang wanita yang mewakili mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk menyampaikan pidato penyerahan dan penerimaan. Pidato itu dibumbui dengan pantun-pantun romantis dan kata-kata jenaka. Pada malam hari di tempat pengantin perempuan diadakan acara lailatul qira’ah dan ceramah agama atau bakisah.
Beberapa waktu kemudian suami isteri itu pindah ke Amuntai. Mula-mula mereka tinggal di Sungai Karias menempati rumah yang dipinjamkan oleh Uma Ipun, kemudian menyewa pavÃliun rumah H.Asmuni di jalan Abdulazis Amuntai. Selanjutnya pindah ke Tambalangan menyewa rumah H.Sani, lalu pindah lagi ke rumah Abdul HadÃ. Di rumah inilah Sarah melahirkan anaknya yang pertama, Abdul Haris. Beberapa waktu kemudian mereka pindah lagi menempati rumah petak di Komplek Raga Buana dan selanjutnya mereka tinggal di Murung Sari menempati bekas bangunan Pesanggerahan Belanda.
Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga Makkie aktif mengajar mengaji. Hampir setiap malam ia meninggalkan rumah untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Selama tinggal di Amuntai, ia sempat menampung dua orang adiknya, Ahmad Yamani dan Ahmad Kan’ani serta saudara sepupunya Tati Hanafiah yang bersekolah di sana.
Hingga saat ini pasangan suami isteri itu telah dikaruniai enam orang putera yaitu Drs.H.Abdul Haris, MSi bekerja sebagai PNS, telah berkeluarga dan mempunyai empat orang anak; Drs. Ahmad Yani bekerja sebagai PNS telah berkeluarga dan mempunyai tiga orang anak; Drs.H.lbnu Anshari, MM bekerja sebagai PNS telah berkeluarga dan mempunyai tiga orang anak; Agus Islami telah berkeluarga dan berwiraswasta tinggal di Jakarta telah mempunyai dua orang anak; H.Fajar Safari, S.Sos bekerja sebagai PNS telah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak; Damai Mediawan telah berkeluarga, berwirausaha dan mempunyai satu orang anak.
BERSAMBUNG ……….