Menceburkan separuh badan ke dalam air galian tambang sembari menggoyang-goyangkan ayakan berbentuk piring besar warna hitam di siang bolong, menjadi rutinitas sehari-hari bagi beberapa warga di Cempaka, Banjarbaru.
Layaknya mencuci piring, mengenakan topi purun dan lengan panjang, para pendulang intan disana masih menerapkan cara tradisional mencari butir perbutir intan, dengan melinggang segumpal pasir yang dikumpulkan di dalam piringan tersebut.
Setelah itu batu dan pasir-pasir besar terseleksi hingga menyisakan butiran halus. Bisa hanya pasir, kalau beruntung dapat pecahan intan.
Pekerjaan itu bukanlah hobi bagi yang bersangkutan, namun sebuah keharusan demi bisa menfkahi keluarganya yang tengah menunggu di rumah.
Pun Kadang-kadang, bukan intan apalagi secarik uang yang dibawa pulang ke rumah, justru kabar duka dari si ayah yang tenggelam ke dalam lubang galian pendulangan.
Sesulit itulah, para pendulang intan mencari nafkah demi sesuap nasi.
Berangkat dari masalah yang dihadapi para pendulang tersebut, pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan (Kalsel), menjadikan lokasi pendulangan sebagai salah satu Geopark Meratus.
Tujuannya, supaya Kampung Intan Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru jadi destinasi wisatawa yang dapat menambah pundi-pundi rupiah, baik ke negara maupun masyarakat setempat.
Bagaimana bisa? Yuk simak proses perjalanan penetapan lokasi pendulangan intan menjadi salah satu Geopark Meratus.
REDAKSI8.COM, BANJARBARU – Awalnya, lokasi pendulangan intan diajukan ke UNESCO Global Geopark (UGG) sebagai upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan (Kalsel) untuk melestarikan nilai budaya dan kearifan lokal.
Setelah masuk proses pengajuan beberapa waktu, kini aktivitas warga setempat itu menjadi kearifan lokal yang dapat membawa para turis dan wisatawan datang, sebagai nilai tambah perekonomian untuk pemasukan negara dan masyarakat.
Seorang pendulang intan di Kampung Pumpung, Cempaka, Kota Banjarbaru, Bahriani mengatakan, pendulangan intan Cempaka sudah ada sejak abad ke-9 Masehi atau dari tahun 1850 yang dikerjakan secara manual.
“Sudah sekitar 20 tahunan mendulang disini, dari turun temurun jua, satu kelompok itu anggotanya bisa 9 atau 10 orang,” katanya.
Bagi Bahriani, proses mendulang intan tidak begitu sulit, mulai penyedotan terlebih dahulu, lalu disaring dan kemudian dilinggangan.
Namun, bagi masyarakat awam yang baru pertama mencoba mendulang intan, kerjaan itu begitu ribet dan memerlukan kesabaran.
“Ini tambang tradisional masyarakat, makanya caranya dilinggangan, sampai saat ini masih banyak yang membeli (hasil intan<–red),” ujarnya.
Bicara soal intan, menurutnya intan yang bagus itu apabila di dalamnya terlihat bersih putih seperti kristal.
Kisaran harganya bervariasi, jika dijual mentah (tidak diolah), dari intan terkecil senilai Rp50 ribu. Dan yang paling besar 12 karat Rp250 juta.
“Dapat aja sih tapi tidak menentu, bisa kecil, ya tidak pasti lah pendapatan sehari-harinya. Kalau batu-batu akik siapa saja mau mencari diperbolehkan, bebas untuk semua orang,” ungkapnya.
Sementara itu, Pemandu Wisata pendulangan intan Cempaka, Kota Banjarbaru, Syafruddin Noor mengatakan, hasil dari penjualan intan-intan mentah biasanya diolah sendiri, contohnya cicin.
Sedangkan untuk intan yang besar-besar, Ia jual ke wilayah Martapura, bahkan luar Jawa, seperti Surabaya dan Jakarta.
“Harapan kami sadar wisata Kampung Pumpung, inginnya lebih diperhatikan lagi oleh Pemerintah, serta kedepannya geopark disini semakin dikenal seluruh masyarakat, bukan masyarakat Kalsel tetapi masyarakat dunia,” ungkapnya.
“Jadi setiap wisatawan datang kesini untuk mengetahui ataupun edukasi tentang bagaimana cara pendulangan atau mendapatkan intan itu,” tambahnya.
Syafruddin mengatakan, setiap minggunya lokasi pendulangan intan selalu ada kunjungan dari Pemerintah, masyarakat lokal, dan media, bahkan turis-turis Internasional.
“Kalau perminggu itu biasanya ada kunjungan 2 sampai 3 kali, dari mana saja termasuk turis Internasional,” pungkasnya.