REDAKSI8.COM, KALIMANTAN SELATAN – Pemimpin perempuan sekarang ini seolah masih dipandang sebelah mata bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Mungkin polemik itu muncul karena budaya patriarki yang sangat kuat di negara ini.
Perempuan masih dipandang sebagai kaum yang lemah, dan dicap tidak memiliki kapasitas seperti laki-laki jika memimpin. Padahal, jika berkaca pada sejarah, sebut saja nama-nama seperti Ratu Balqis, Cleopatra, Margaret Theatcher, Benazir Bhutto, dan Corie Aquino, mereka merupakan sosok perempuan yang memegang kekuasaan.
Beralih ke mata hukum, menurut Pengamat sekaligus Dosen UNISKA, Muhammad Rosyid Ridho, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, secara formal tidak memuat hal-hal yang bersifat diskriminatif gender, secara normatif tidak membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 yang menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum, dengan demikian perempuan dan laki-laki memiliki persamaan hak hukum dalam semua bidang kehidupan, termasuk persamaan hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak.
Lalu pada Ayat 3 Pasal 28D UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dalam konteks kehidupan internasional, Indonesia juga telah meratifikasi perjanjian yang berkaitan dengan hak asasi perempuan, diantaranya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, yaitu perjanjian mengenai penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum Pasal 10 ayat (7) yang berbunyi “komposisi keanggotaan KPU, keangotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU kabupaten/ kota memperhatikan keterwakilan Perempuan paling sedikit 30%.
Selanjutnya, Pasal 22 ayat (1) berbunyi “Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang anggota dengan memperhatikan keterwakilan Perempuan paling sedikit 30%.
Apabila dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memuat frasa yang sama bahkan mewajibkan dalam kepengurusan partai politik. Hal ini disebutkan dalam pasal 173 ayat (2) poin e dijelaskan “menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik tingkat pusat”
Kepemimpinan perempuan dalam hukum Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Peraturan tersebut mencakup beberapa peraturan tentang pembentukan badan penyelenggara pemilu, verifikasi partai politik peserta pemilu, dan pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Di Indonesia, hak untuk memilih dan dipilih adalah bagian dari hak asasi manusia atau hak politik. Aturan tentang hak suara diatur di UUD Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,. Setiap orang berhak untuk berpartisipasi dalam pemerintahannya, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas.
Kepemimpinan perempuan juga turut disoroti oleh Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath. Dilansir dari Antara, Annisa mendorong agar partai politik memberikan ruang sebesar-besarnya terhadap calon kepala daerah perempuan di Pilkada Serentak 2024.
Menurut Annisa, hal ini mengingat selain masih adanya stigma perempuan dalam berpolitik masih tabu, ada juga tantangan ke depan bahwa sentuhan kepemimpinan perempuan di berbagai tempat amat dibutuhkan.
“Seharusnya perempuan difasilitasi atau didorong untuk terjun ke politik, menjadi kepala daerah misalnya agar kebijakan yang dihasilkan bisa lebih berperspektif gender, anak, dan memperhatikan kelompok marginal,” kata Annisa.
Annisa menyebutkan, terdapat tiga faktor kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di dunia politik. Pertama, hambatan psikologis seperti perempuan dinilai tidak cocok untuk menjadi pemimpin. Selanjutnya soal materi dan terakhir berkaitan doktrin sosial-budaya yang masih patriarkis.
“Kalau dilihat, banyak perempuan yang kemudian mencalonkan diri atau terpilih menjadi kepala daerah memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah sebelumnya, misalnya istri, anak atau hubungan darah lainnya dengan tujuan melanjutkan kekuasaan kepala daerah sebelumnya. Ini sangat miris, namun kenyataannya memang begitu,” jelasnya.
Ia mengatakan peran perempuan untuk maju menjadi pemimpin daerah paling tidak bisa dijadikan standar baru bagi para partai politik. Seperti salah satunya sistem meritokrasi harus berjalan dengan melihat rekam jejak seseorang mengerti atau tidak dalam memimpin suatu organisasi, atau daerah tempat yang dipimpinnya.
Disamping itu, menurutnya, partai politik juga perlu memberikan pemahaman kepada publik bahwa kepemimpinan perempuan sejajar dengan kaum pria.
“Kaderisasi partai politik yang berperspektif gender. Juga pendidikan politik kepada masyarakat yang berperspektif gender untuk menormalisasi kepemimpinan perempuan,” ucap Annisa.
Selain itu, Annisa menekankan soal kebijakan dari negara sendiri. Menurutnya, negara harus mendorong kebijakan affirmative action, seperti syarat persentase 30 persen kandidat perempuan dalam daftar pencalonan anggota legislatif.
Kebijakan serupa bisa diterapkan atau dimodifikasi secara kuantitatif dalam gelaran Pilkada Serentak 2024, dnan juga membuka kemungkinan, batas calon independen menjadi 3 hingga 6 persen agar membuka kemungkinan kandidat-kandidat alternatif untuk maju.
“Bukan tidak mungkin ada calon perempuan yang kemudian bermunculan,” pungkasnya.